
Tuhan
Rahmatilah kehidupan dan kematianku
Kalau bukan kepadaMu aku berharap
Lalu kepada siapa lagi kuharus mengharap
Engkau yang esa
Berkuasa atas segala sesuatu
TanpaMu
Aku hanya sebuah batu
Tanta, 23-08-2009


Selalu merindukan ada setitik embun lagi yang akan jatuh pagi ini dan membasahi tanah tandus setiap paginya. Dalam sekarung mimpi sering sekali aku melihat sang periang menangis penuh iba dalam diam terkadang dalam tawanya sendiri, lalu terduduk pasrah di tengah padang gersang. Pikirku berkata, aku tahu ia menunggu para kafilah dari Mempis di barat yang akan melintasi dan membawakan setetes jatuhan embun pagi buatnya, sekedar untuk membasahi bekas bibir manis sang periang yang berganti dengan raut pucat membiru dan retak di setiap sudutnya, kering dan berbau hangus. di situ, di jalan sutera, hal itu memang sudah biasa terjadi di mana para kafilah hilir mudik membawa dagangannya dengan rumusan meninggalkan, ditinggalkan atau tetap sama sekali duduk di atas gurun antara wilayah negeri-negeri anak benua dan negeri-negeri timur nun jauh. Meninggalkan, ditinggalkan dan diam sama sekali, parahnya justru tiga kotak itulah yang harus di pilih salah satunya oleh si periang yang tadi aku kisahkan. tapi, tentu saja itu semua tergantung pada proses yang ia usahakan, setelah itu, biasanya orang orang kafilah dari Mempis atau Babilonia sering menyebutnya dengan istilah tawakkal.
Aku adalah sang cangkir putih hitam pembawa dua harapan yang di ikat oleh kehidupan, satu untuk kehidupanku kini dan satu untuk kehidupanku kelak.
Terjepit pada jurang ketidakpastian, sepasang mata lelah mencoba menatap harapan usang jauh diujung tatapannya, ia selalu saja berkoar tentang dua kata "harapan dan berharap".